1 / 37

SEJARAH BIROKRASI PUBLIK DI INDONSIA

SEJARAH BIROKRASI PUBLIK DI INDONSIA. LATAR BELAKANG. Birokrasi di Indo n esia tidak pernah lepas dari pengaruh sistem politik yang sedang berlangsung

neola
Download Presentation

SEJARAH BIROKRASI PUBLIK DI INDONSIA

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. SEJARAH BIROKRASI PUBLIK DI INDONSIA

  2. LATAR BELAKANG Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh sistem politik yang sedang berlangsung Apapun sistem politik yang diterapkan, birokrasi tetap memegang peran sentral  Birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis Ciri Birokrasi modern yang rasional sulit untuk diwujudkan Birokrasi menjelma menjadi “monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara

  3. SEJARAH BIROKRASI • Birokrasi Masa Kerajaan • Birokrasi Masa Kolonial • Birokrasi Masa Orde Baru • Birokrasi Masa Reformasi

  4. BIROKRASI MASA KERAJAAN Dalam sistem Kerajaan, pucuk pimpinan berada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolut Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak sang raja Birokrasi pemerintahan yang terbentuk adalah Birokrasi Kerajaan

  5. CIRI-CIRI BIROKRASI KERAJAAN Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; “GAJI” dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya kepada rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.

  6. BIROKRASI KERAJAAN MATARAM Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok; Birokrasi Kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 (dua): Birokrasi pemerintahan pusat (Keraton), dan Birokrasi pemerintahan daerah di luar keraton (manca negara) Birokrasi pemerintahan pusat dipimpin langsung oleh Raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan kharismatik-tradisional

  7. Lanjutan . . .. . Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah bersifat dekonsentrasi dan bahkan sentralistis; Raja berusaha menguasai birokrasi (pejabat daerah) dengan sangat ketat melalui pengangkatan para anggota keluarga kerajaan; Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja; Di dalam pemerintahan pusat (keraton) urusan pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet);

  8. Lanjutan . . . .. . Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdi dalem) yang jumlahnya cukup banyak; Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah bupati lama yg telah ditaklukkan, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri Pengawasan terhadap kinerja bupati dilakukan oleh pejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja

  9. Lanjutan . . . . . . Kesetiaan atau loyalitas bupati kepada raja ditunjukkan dengan cara menghadap ke istana raja dalam satu tahun minimal tiga kali, yaitu pada perayaan atau hari besar kerajaan, seperti pada waktu upacara “Grebeg Maulud”, “Grebeg Syawal” dan “Grebeg Besar”  pada saat menghadap raja membawa upeti sebagai bukti kesetiaan daerah.

  10. TIGA STRATEGI POLITIK RAJA MATARAM Menggunakan kekerasan dengan menjatuhkan hukuman mati kepada lawan-lawan politik raja  juga kepada seluruh anggota keluarganya; Mengharuskan orang terkemuka yang berpengaruh di daerahnya untuk tinggal di Keraton dalam jangka waktu tertentu, dan daerahnya diserahkan kepada wakilnya di daerah; Menjalin persekutuan dengan perkawinan, baik antara raja dengan puteri kepala daerah, maupun puteri raja yang diberikan sebagai hadiah kepada tokoh-tokoh daerah

  11. BIROKRASI MATARAM (Setelah Perjanjian Gianti Th 1755) KASUNANAN SURAKARTA KASULTANAN YOGYAKARTA PERDANA MENTERI (PEPATIH DALEM) WEDANA BUPATI LEMBAGA KEMENTERIAN (KANAYAKAN) URUSAN INTERNAL URUSAN EKSTERNAL Kanayakan Keparak Kiwo/Tengen (urusan yayasan & pek. Umum) Kanayakan Siti Sewu Kanayakan Bumijo Kenayakan Gedhong Kiwo/ tengen (urusan penghasilan & keuangan) Kanayakan Panumping Kanayakan Numbakanyar

  12. Catatan: Setiap Kementerian/Kanayakan dipimpin oleh seorang “NAYAKA” dan diberikan fungsi militer Setiap Nayaka menjadi panglima perang yang mempunyai prajurit sendiri.

  13. BIROKRASI KERAJAAN DI SULAWESI SELATAN KERAJAAN GOWA (Etnis Makasar) KERAJAAN BONE (Etnis Bugis) RAJA CATATAN: Pemerintahan Kerajaan Gowa terbagi menjadi dua, yaitu Pusat dan Daerah  dua klasifikasi: Pemda yg terdiri dari 9 persekutuan (gaukang) yg bersifat otonom; Pemda Taklukan (Vasal), tidak otonom => setiap tahun hrs menyerahkan upeti kpd raja DEWAN PERWAKILAN (Bate Salapang) 9 penguasa Persekutuan (Gaukang)

  14. BIROKRASI MASA KOLONIAL Kedatangan penguasa kolonial tdk banyak mengubah sistem birokrasi pemerintahan yang telah ada  justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistik yg telah menjiwai sistem birokrasi masa kerajaan; Pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yg masih disegani oleh masyarakat  berupaya menanamkan pengaruh politiknya thd elite politik kerajaan

  15. Lanjutan . . . . Terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Disatu sisi diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedang pada sisi lain sistem administrasi tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial; Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hirarki yang puncaknya pada Raja Belanda yang pada implementasi di negara jajahan diserahkan kepada wakilnya yaitu Gubernur Jenderal, yang kekuasaannya meliputi seluruh wilayah negara jajahan yg dikuasainya

  16. Lanjutan . . .. Gubernur Jenderal dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para Gubernur dan Residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedang di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas (controleur). Keberadaan asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur jenderal untuk membantu mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari; Wewenang bupati tdk lagi otonom, melainkan telah dibatasi undang-undang dengan mendapat kontrol dari pengawas yg ditunjuk oleh pemerintah pusat.

  17. Lanjutan . . . Reformasi Birokrasi kerajaan di Kasultanan Yogyakarta dipusatkan di lembaga Kepatihan yg mengurusi jalannya pemerintahan kerajaan sehari-hari; Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, pemerintah kolonial membentuk jawatan-jawatan yang sebagaian diurus oleh pegawai-pegawai Belanda di bawah perintah residen  di bawah koordinasi “Pepatih Dalem” (di bawah kekuasaan Sultan); Reformasi manajemen keuangan mulai dilakukan oleh pemerintah kolonial, yg memisahkan kas keuangan kasulatanan dari keuangan pribadi sultan

  18. Lanjutan . . . . . Anggaran belanja untuk rumah tangga istana diperoleh dari uang ganti rugi yg diberikan oleh pemerintah kolonial yg disebut “Daftar Sipil”  pengaruh sultan semakin tersingkir dari pemerintahan umum dan menjadi tidak berpengaruh secara formal-politik sebagai puncak pimpinan birokrasi kerajaan; Penempatan lembaga yang mengurusi jalannya pemerintahan sehari-hari (Pepatih Dalem) yang berada di bawah kontrol pemerintah kolonial benar-benar semakin menghilangkan peran politik sultan dalam membuat kebijakan pemerintahan secara umum

  19. Lanjutan . . .. Sebagai pemegang otoritas kebijakan pemerintahan secara riil, seorang patih yang diusulkan oleh sultan dan disetujui oleh Gub.Jenderal Belanda lebih bertanggung jawab kepada Gub.Jenderal Belanda daripada kepada sultan; Segala kebijakan pemerintahan umum dari Patih dalem harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda; Kedudukan Patih Dalem dalam birokrasi pemerintahan kolonial adalah sebagai pegawai kasultanan dan pegawai Gubernur Belanda  muncul dualisme kekuasaan dan dihadapkan pada dilema dan konflik kepentingan antara kepentingan pem.kolonial dg kepentingan sultan

  20. BIROKRASI MASA ORDE BARU Berakhirnyamasapemerintahankolonialisme perubahansosialpolitik yang sangatberartibagikelangsungansistembirokrasipemerintahan Perbedaanpandangandiantaraparapendiribangsapadaawalkemerdekaantelahmenjuruskearahdisintegrasibangsadankeutuhanaparaturpemerintah Setidaknyaterdapatduapersoalandilematismenyangkutaparatbirokrasipadasaatitu, yaitu: Bagaimanacaramenempatkanpegawai RI yang telahberjasamempertahankan RI, tetapirelatifkurangmemilikikeahliandanpengalamankerja yang memadai,

  21. Lanjutan . . . . Bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada pemerintah Belanda, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap pemerintah RI Penerapan bentuk pemerintahan Parlementer (1950-1959) => sering terjadi pergantian kabinet  birokrasi sangat terfragmentasi secara politik Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang berkuasa Penempatan atau perekrutan pejabat dalam struktur birokrasi harus diisi oleh orang dari anggota partai yang berkuasa

  22. Lanjutan . . . . Birokrasi pemerintah semata-mata ditempatkan sebagai instrumen politik bagi partai politik yang berkuasa/berpengaruh  politisasi birokrasi Birokrasi menjadi tidak profesional, dan tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau programnya karena seringnya terjadi pergantian pejabat Aparat yang tidak sepaham dengan garis politik yang dianut leh pimpinan birokrasi, tidak pernah mendapatkan jabatan strategis Birokrasi diwarnai dengan konflik internal dan saling curiga diantara sesama pegawai

  23. Lanjutan . . . . . Puncakdarikonflikpolitikadalahmeletusnyaperistiwapemberontakan G30S PKI (1965)  konflikvertikaldan horizontal meluasdenganmelibatkanberbagaikomponenmasyarakat Momentum politikpentingadalahterbitnya “SUPERSEMAR” (1966) berakhirnyakekuasaanSoekarno, digantiolehSoeharto  ORDE BARU PKI dibubarkantermasukunsur-unsurkelembagaandanpegawainegeri yang terlibatdalamkegiatan PKI  sterilisasibirokrasipemerintahdaripengaruhkepentinganpartaipolitik

  24. Lanjutan . . . . Dengan Tap MPRS No.XIII/MPRS/1966  Kabinet I  Kabinet Ampera dengan program kerja al: Penyempurnaan aparatur pemerintah; Rasionalisasi birokrasi  dari Kabinet 100 menteri menjadi 23 menteri; Peningkatan profesionalisme melalui pelatihan; Pembersihan birokrasi dari pengaruh politik partai  Permendagri No.12 Th 1969  meletakkan birokrasi sipil di bawah kontrol pemerintah pusat. Penyatuan korps birokrasi pemerintah dimulai th 1966  Korps Karyawan Kementerian Dalam Negeri (Kokar Mendagri)  Cikal bakal KORPRI  untuk kepentingan politik pemenangan Golkar pd Pemilu 1977

  25. Lanjutan . . . .. Korpri menjadi satu-satunya wadah yang menampung aspirasi pegawai birokrasi pemerintah; Loyalitas aparat birokrasi pemerintah ditujukan kepada negara dan pemerintah, bukan kepada partai politik; Prinsip monoloyalitas  PP No.6 Th 1970 Kabinet Pembangunan I  menteri Negara penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (Menpan); Politik penyeragaman birokrasi merupakan embrio bg munculnya penyeragaman aspirasi politik birokrasi pemerintah yg diarahkan untuk mendukung kekuatan politik “GOLKAR”.

  26. Lanjutan . . . .. Pemerintah Orde Baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi (“ABG”). Karakteristik utama birokrasi masa Orde Baru adalah kuatnya penetrasi birokrasi pemerintah, sebagai representasi kehadiran negara ke dalam kehidupan masyarakat; Birokrasi sipil dalam menjalankan tugasnya, sepenuhnya mendapat dukungan dari jaringan birokrasi militer, baik pada tkt pusat melalui Kopkamtib sampai pd tkt desa melalui Koramil dan Babinsa (Bintara Pembina Desa)

  27. Lanjutan . . . . . Kehidupan sosial dan politik masyarakat diorganisir dalam wadah kepentingan yang sifatnya serba tunggal untuk memudahkan mobilisasi oleh birokrasi pemerintah, misal: pembentukan Korpri, HKTI, KNPI, PKK, KUD, Kadin, dlsb. Pemerintah Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai “premium mobile” bagi pembangunan nasional Reformasi Birokrasi diarahkan pada: (a) memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hirarki birokrasi; (b) untuk membuat agar birokrasi responsif thd kehendak kepemimpinan di pusat, serta (c) untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah

  28. Lanjutan . . . . . . . Realisasi dari kebijakan tsb adalah dengan membuat GBHN, Repelita, dan APBN yang dilakukan secara terperinci pada tiap tahunnya  mendorong sentralisasi sistem mobilisasi dan alokasi sumber daya yg tersedia, sehingga ruang gerak bagi birokrasi daerah untuk membuat kebijakan pembangunan daerah menjadi sangat terbatas; Kompleksitas masalah pembangunan yg dihadapi menghenadaki adanya perubahan struktur birokrasi semakin membengkak  di Sulsel dari 31 ribu (1970) menjadi 187 ribu (1990)

  29. Lanjutan . . . . . . Secara nasional jumlah pegawai negeri terus berkembang pesat dari 400.000 (awal orde lama) menjadi 2.074.000 (1980), dan mencapai 4.009.000 (1993) Proliferasi jumlah PNS dalam birokrasi Orde Baru tdk lepas dari manuver dan kepentingan politik pemerintahan Orde Baru; Melalui kebijakan birokratisasi, pem Orde Baru berhasil membangun kekuatan melalui sosok birokrasi yang solid dalam menjalankan fungsi regulasi thd masy. Mobilisasi birokrasi melalui korpri  monoloyalitas  mayoritas tunggal selama lebih 30 tahun

  30. Lanjutan . . . . . Kompleksitas masalah pembangunan, pertimbangan politik, sosial, ekonomi, budaya dan geografis  perubahan tata pemerintahan secara sistematis ==. Membentuk jaringan organisasi birokrasi pemerintahan yang mampu menjangkau sampai ke lapisan terbawah masyarakat; Selama Orde Baru jaringan organisasi pemerintah terbentu mulai dari pusat sampai rukun tetangga secara hierarkis; Organisasi pemerintah yg berada di bawah mengemban tugas sbg pelaksana keputusan atau perintah dari unit pemerintahan di atasnya.

  31. HIERARKI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN ORDE BARU PRESIDEN (1) DEPDAGRI (2) PROP. DATI I (3) PEMBANTU GUB. (4) KABUPATEN/KODYA TK II (5) PEMBANTU BUPATI (6.a) KOTA ADMINISTRATIF (6.b) KECAMATAN (7) DESA/KELURAHAN (8) RW/RK/DUSUN/LINGKUNGAN (9) RUKUN TETANGGA/RT (10)

  32. Lanjutan . . . . . . Perilaku dan masalah birokrasi pelayanan publik di Indonesia banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah pembentukannya. Birokrasi sejak zaman kerajaan sampai kolonial tidak pernah dirancang untuk memberikan pelayanan kpd masy Birokrasi sepenuhnya mengabdi pada kepentingan kekuasaan (sultan atau raja) orde baru menempatkan birokrasi sbg sentral bagi pengaturan kehidupan masy. Dampaknya al: budaya birokrasi yg sentralistik dan berorientasi pd kekuasaan, terbiasa dengan perintah dan petunjuk, kepatuhan kepada atasan, tidak pernah diperkenalkan pada nilai-nilai kepentingan publik

  33. Lanjutan . . . . . Mentalitas “minta petunjuk” dan “gemar memberi petunjuk”  birokrasi cenderung memiliki orientasi sbg penguasa daripada sbg pelayanan masyarakat Dalam birokrasi tdk pernah dijumpai pendistribusian kewenangan scr memadai (diskresi) kpd instansi atau aparat di tingkat bawah Birokrasi lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada masyarakat pengguna jasa; Birokrasi ditempatkan sbg lembaga yg mengontrol masy dengan dalih stabilitas nasional (Kopkamtib, Opsus, Ditsospol, dan Bakorstanas) Lembaga perizinan menjadi mekanisme kontrol efektif bagi birokrasi.

  34. BIROKRASI MASA REFORMASI Dengan reformasi  perubahan besar pd desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik menyangkut kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun kultural  perubahan paradigma birokrasi  sebuah harapan . . . . . Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang profesional dan akuntabel  berorientasi pd kepuasan pelanggan Dalam praktek, birokrasi masa reformasi masih menunjukkan gejala-gejala sbb:

  35. Lanjutan . . . . . . Arogansi birokrasi; Birokrasi tidak transparan dalam pengambilan keputusan; Aparat birokrasi masih mempraktekkan tindakan KKN Masih lekatnya mentalitas dan budaya kekuasaan; Masih kuatnya kultur birokrasi yg menempatkan pejabat birokrasi sbg penguasa dan rakyat sbg pihak yang dikuasai; Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sbg pengguna jasa; Masih adanya prinsip bahwa gaji yg selama ini diterima bukan berasal dr masyarakat tetapi dari pemerintah

  36. Lanjutan . . . . Konstruksi nilai yg tertanam dalam birokrasi yg sangat independen thd publik menjadikan birokrasi mempunyai persepsi bahwa masyarakat atau publik yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi tidak hanya mengidap virus kleptomania tetapi virus anti reformasi  virus kontraproduktif yang menular ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di tingkat bawah

  37. S E K I A N T E R I M A K A S I H

More Related