1 / 2

Mata Seorang Expert

Mata Seorang Expert

Download Presentation

Mata Seorang Expert

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Mata Seorang Expert Saya tidak mengenal Bung Hatta seperti almarhum suami saya mengenalnya meskipun saya selalu bersilaturrahmi pada waktu lebaran, pada hari ulang tahunnya dan sebagainya. Pada kesempatan-kesempatan yang banyak dikunjungi orang itu, Bung Hatta selalu formal, korek, tapi ramah, senyum, dan penuh atensi melihat-lihat apakah semua tamu sudah terlayani. Pada tahun 1973 saya beruntung sekali mendapat undangan dari Des Alwi untuk bersama keluarga Bung Hatta mengadakan kunjungan lima hari ke Bandaneira. Suatu perjalanan nostalgia, suatu sentimental journey bagi Bung Hatta, tapi ternyata juga suatu kunjungan kerja, sesuai dengan jiwa Bung Hatta yang tidak lepas dari rasa kewajiban. Dalam perjalanan 12 jam dari Ambon ke Bandaneira naik kapal TNI-AL RI Pulau Robas yang disediakan oleh Angkatan Laut dan Gubernur Maluku, Bung Hatta kelihatan sangat relaks, gembira, menikmati hawa segar, laut dan langit yang luas, dan pemandangan matahari yang terbenam dan terbit dalam warna-warni yang sangat indah. Dekat Pelabuhan Bandaneira kapal disambut dan diiringi oleh arumbai-arumbai berhias dari berbagai kampung dan pulau, berlomba-lomba mengiringi kpal TNI-AL sampai ke dermaga. Pejabat-pejabat setempat sudah siap dengan penyambutan resmi. Kegembiraan yang murni terpancar dari wajah Bung Hatta waktu menginjak tanah tempat beliau tinggal selama enam tahun di tengah-tengah rakyat Bandaneira. Suatu rombongan anak-anak sekolah dalam pakaian seragam putih menyanyikan lagu “Selamat Datang, Pak Hatta” dengan manisnya. Beberapa romabongan cakalele, dengan kostum berwarna yang khas dan yell mereka, tambah memeriahkan suasana gembira. Rakyat berjejal-jejal di pinggir jalan-jalan yang sempit, meneriakkan pekik “Merdeka!”, bangga bahwa tokoh besar dielu-elukan itu pernah tinggal di tengah-tengah mereka. Di tempat kediaman kepala pemerintah setempat diadakan penyambutan resmi dengan pidato-pidato dan penyerahan hadiah obat-obatan dari Presiden untuk rakyat Bandaneira. Pada hari kedua, Bung Hatta dan rombongan mengadakan peninjauan ke perkebunan dan tempat pengeringan pala di Pulau Banda Besar yang masa kunjungan Bung Hatta dulu subur dan teratur, tetapi yang kini dalam keadaan menyedihkan. Di situ kami melihat seorang Bung Hatta yang lain, seorang Bapak rakyat yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib rakyat.

  2. Dengan wajah sedih dan prihatin beliau meninjau keadaan di perkebunan dengan mata seorang expert: terlantarnya perkebunan, rumah-rumah tak terurus, penduduk melarat, anak-anak tidak disekolahkan karena tidak ada uang. Untuk inikah mereka dulu berjuang, berkorban: sebagian rakyat sengsara, terisolisir dari dunia luar, terbelakang, dalam suatu Indonesia Merdeka? Kemudian sebelum meninggalkan Banda, Bung Hatta mengadakan pertemuan dengan pejabat-pejabat setempat, dan disusun pula suatu laporan untuk Pemerintah Pusat. Pulau-pulau lain yang dikunjungi dalam acaranya yang padat itu ialah Pulau Rosengain dan Pulau Pisang (yang oleh masyarakat diberi nama Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir). Bagi saya pribadi, suatu kesenangan yang khas setiap pagi ialah sebelum yang lain-lain bangun, adalah sarapan bersama Bung Hatta di ruangan besar, di mana angin pagi mengembus dengan segar, duduk berhadap-hadapan meladeni sambil mengobrol kecil, santai dalam suasana terbuka tanpa formalitas. Terasa sekali kesederhanaan dan keramahan yang tulus. Perjalanan ke Ambon untuk Bung Hatta berarti “bekerja”, memberikan pidato pengarahan untuk mahasiswa-mahasiswa Universitas Pattimura, pidato sambutan untuk masyarakat Minangkabau di Ambon, dan cerama koperasi untuk Lembaga Pendidikan Koperasi. Dan karena kebetulan di Ambon sedang diselenggarakan suatu konperensi Dewan Gereja Indonesia, beliau di sana pun diminta suatu wejangan. Perlawatan ke Maluku ini ternyata yang terakhir bagi Bung Hatta. Enam tahun kemudian ada kesempatan lagi bagi saya berkunjung ke Bandaneira atas undangan Des Alwi, yaitu waktu masyarakat Banda membangun sebuah mesjid dekat pelabuhan denga nama Hatta-Sjahrir, untuk menghormati kedua tokoh itu. Sayang, Bung Hatta tidak dapat datang meresmikannya karena keadaan kesehatannya tak mengizinkan. Peresmian dilakukan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama dari Ambon dan dari Jakarta oleh putri Bung Hatta yang sulung, Meutia Hatta Swasono, dan saya. Dengan dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat Banda, imam-imam mesjid, pendeta-pendeta Kristen, pejabat-pejabat dari Ambon, dan dari Jakarta duta besar Prancis, Halida Hatta, anak-anak angkat Sjahrir serta crew kapal, masjid itu diresmikan dalam suasana penuh haru dan khidmat. Nama “Hatta-Sjahrir” diabadikan dalam suatu prasasti, dalam satu napas pula. Ny. Siti Wahjunah Sjahrir, Pribadi Manusia Hatta, Seri 9, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related