1 / 84

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian. Tafsir Hadis. Bahan ajar berbasis multimedia. Disusun oleh Mohammad Anwar Syarifuddin. 1. Pengertian Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Standar Kompetensi

burian
Download Presentation

Metodologi Penelitian

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis

  2. Bahan ajar berbasis multimedia Disusun oleh Mohammad Anwar Syarifuddin

  3. 1 Pengertian Metodologi Penelitian Tafsir Hadis

  4. Standar Kompetensi Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep-konsep yang terkait dengan istilah metodologi penelitian tafsir hadis Kompetensi Dasar Menjelaskan pengertian Metodologi penelitian Menerangkan perbedaan antara pengertian metodologi dan metode penelitian Menjelaskan makna istilah tafsir Menjelaskan arti istilah hadis Pertemuan PertamaPengertian Metodologi Penelitian Tafsir Hadis

  5. Metodologi Penelitian Logika umum dan perspektif teoretis bagi sebuah penelitian adalah Berbeda dengan Metode = teknik • Survey • Wawancara • dan lain-lain

  6. Tafsir: Tafsir dipahami sebagai upaya interpretasi secara umum, tidak melulu tentang al-Qur’an, tetapi lebih merupakan padanan kata “syarh” dalam bahasa Arab, yang berarti penjelasan. Secara generik tafsir adalah istilah yang diberikan kepada karyayang menyajikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dari teks bahasa Arabnya. Secara lebih spesifik, tafsir sebagai produk penafsiran dibedakan dengan metode tafsir yang cenderung menunjuk aspek teknik dan metodologis dengan apa sebuah tafsir dihasilkan. Tafsir sebagai produk penafsiran seringkali juga dibedakan dengan teks al-Qur’an yang ditafsirkan. Alasannya, ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu yang dilahirkan dari upaya pengkajian terhadap al-Qur’an bukan hanya mengenai tafsir semata. Oleh karena itu, dalam cakupan makna istilah tafsir terdapat beberapa obyek kajian spesifik: Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an Tafsir dan metode penafsiran Makna Istilah“tafsir hadis”

  7. Al-Qur’an • Secara sederhana al-Qur’an didefinisikan sebagai “Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan ibadah”. • Definisi yang lebih lengkap al-Qur’an adalah “Kalam yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaran-lembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Ulum al-Qur’an • Ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, makna dan hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân, ii, 174)

  8. Hadis: • Hadis adalah tradisi yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, bisa berupa: • Ungkapan • Perbuatan • Ikrar • sifat • Konsekuensinya, hadis dibedakan dengan al-Qur’an atas beberapa pertimbangan: • Bentuk redaksional, • Kuantitas jalur periwayatan, • Efek legal formal

  9. Tafsir Hadis, bukan Qur’an Hadis • Jika Qur’an juxtaposed hadis, istilah “tafsir hadis” sama tidak dikhotomis. • Makna-makna yang dilekatkan dengan istilah tafsir dan hadis memiliki titik kesepadanan pada dua hal: • perkembangan penulisan kitab hadis masa awal Islam, ketika tafsir dimasukkan sebagai salah satu bagian kitab hadis dalam Sahih Bukhari, misalnya, dan • hadis dalam fungsinya sebagai penjelasan atas al-Qur’an seperti diungkapkan dengan istilah “tafsir bil ma’tsur”. Objek kajian dan analisis yang dominan dalam metode tafsir ini terkait erat dengan hadis dan perangkat keilmuannya. • Oleh karena itu, tidak tepat bila ada sementara pandangan yang menempatkan posisi tafsir berada secara berlawanan dengan hadis, karena tafsir bil ma’tsur = hadis

  10. Makna istilah “tafsir hadis” memunculkan pola-pola hubungan yang mendasari ruang lingkup kajian yang dimilikinya: Syarah hadis Hadis Tafsir al-Qur’an Melalui hadis Al-Qur’an tafsir Tafsir al-Qur’an Tafsir bil ma’tsur Tafsir al-Qur’an bil Qur’an Ulumul Qur’an penafsiran secara umum Tafsir Birra’yi Bidang Kajian non-TH

  11. TAFSIR HADIS Komponen ilmu keislaman yang sangat penting karena terkait dengan sumber-sumber pokok ajaran Islam: al-Qur’an dan hadis “Tafsir Hadis” adalah sebutan untuk program studi yang memusatkan aktivitas pengkajian terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi sumber utama ajaran Islam dan digolongkan sebagai kajian pokok (usûl) dalam pemikiran keislaman. Untuk alasan itulah program studi Tafsir Hadis berada di bawah naungan fakultas Ushuluddin. Kesimpulan

  12. 2 Ruang Lingkup Bidang Kajian Tafsir Hadis

  13. Standar Kompetensi Mahasiswa mengetahui ruang lingkup bidang kajian tafsir hadis Kompetensi Dasar Mahasiswa dapat membagi bidang kajian Tafsir ke dalam kelompok-kelompok kajian yang ada dalam lingkup bidang kajian tafsir hadis beserta paradigma keilmuan yang berlaku di masing-masing kelompok kajian tersebut. Mahasiswa dapat menjelaskan batas-batas cakupan keilmuan kelompok-kelompok kajian al-Qur’an dan ulum al-Qur’an, tafsir dan ilmu tafsir, hadis dan ilmu hadis. Mahasiswa dapat menunjukkan hubungan antara berbagai kelompok kajian dan kekhususan paradigma yang berlaku di dalamnya dengan kemungkinan melakukan upaya pengkajian bidang ilmu tafsir hadis melalui melalui kerangka konseptual yang berasal dari paradigam keilmuan di luar ruang lingkupnya, baik melalui pendekatan multi-disipliner ataupun interdisipliner. Mahasiswa dapat menunjukkan referensi dan karya-karya yang relevan untuk masing-masing kelompok kajian Tafsir Hadis baik yang dihasilkan oleh sarjana Muslim maupun sarjana non-Muslim dari kalangan orientalis Barat. Pertemuan Ke-2, 3, dan 4 Ruang Lingkup Bidang Kajian Tafsir Hadis

  14. Ruang lingkup kajian dan alternatif pendekatan multi-disipliner interdisipliner

  15. Kelompok bidang-bidang penelitian dalam kajian tafsir hadis • Kelompok kajian al-Qur’an dan ‘ulum al-Qur’an, • Kelompok kajian tafsir al-Qur’an dan metode penafsiran, • Kelompok kajian Hadis dan ulum al-hadis, • Kelompok kajian interdisipliner.

  16. a Kelompok Kajian al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an.

  17. Al-Qur’an Secara sederhana al-Qur’an didefinisikan sebagai “Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan ibadah”. Definisi yang lebih lengkap al-Qur’an adalah “Kalam yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaran-lembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Ulum al-Qur’an Ilmu yang membahas tentang tatacara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, makna dan hukum-hukumnya baik yang berdiri sendiri (ifrad) maupun yang terbentuk dalam sebuah struktur kalimat (tarkibiyyah), juga makna-makna yang ditunjukkan oleh sebab bentukan sintaksis tadi serta segala kelengkapan yang terkait dengan itu.” (Suyuti, Itqân, ii, 174) Pemahaman Konseptual

  18. Klasifikasi ‘ulûm al-Qur’ân menurut Jalal al-Din al-Suyuti(sumber al-Itqân fi‘ ulum al-Qur’an) 1Ma’rifat al-Makkî wa al-Madanî 2Ma’rifat al-Hadari wa al-Safarî 3Ma’rifat al-Nahâri wa al-Layâlî 4Ma’rifat al-Saifi wa al-Shita’î 5Ma’rifat al-Firashi wa al-Nawmi 6Ma’rifat al-Ardi wa al-Sama’i 7Ma’rifat Awwalu ma nuzil 8Ma’rifat Akhiru ma nuzil 9Asbab al-nuzul 10Ma nuzila ala lisan ba’d al-sahaba 11Ma takarrara nuzuluhi 12Ma ta’akhkhara hukmuhu ‘an nuzulihi wa ma ta’akhkhara nuzuluhu an hukmihi 13Ma nuzila mufarraqan wa ma nuzila jama’a 14Ma nuzila mushi’an wa ma nuzila mufradan 15Ma anzala minhu alâ ba’d al-anbiya’ wa ma lam yanzal ala ahad qabl al-nabi16Kayfiyatu inzâlihi 17Ma’rifat asma’ihi wa asma’i suwarihi 18Jam‘ihi wa tartibihi 19Adadi suwarihi wa ayatihi wa hurufihi 20Fi ma’rifat huffazhihi wa ruwatihi 21Ma’rifat al-‘ali wa al-nazil min asanidihi 22Mutawatir 23Mashhur 24Ahad 25Shadz 26Mawdu’ 27Mudraj 28Ma’rifat al-waqf wa al-ibtida 29Fi bayan mauwsul lafzhan wa mawsul ma’nan 30Fi al-imalah wa al-fath wa mâ baynahuma 31Fi ala-idgham, Izhhar, Ikhfa’, wa Iqlab 32Fi al-madd wa al-qasr 33Fi takhfif al-hamzi 34Kayfiyati tahammulihi 35Fi adabi tilawatihi wa talahu 36Ma’rifat gharibihi 37Fi ma waqa’a fihi bi ghayri lughat al-hijaz 38Fima waqa’a fihi bighayri lughat al-‘Arab 39Ma’rifat al-wujuh wa al-nazhair 40Ma’rifat adawat allati yahtaju ilayhi al-mufassir

  19. lanjutan 41Ma’rifat I’râbihi 42Fi qawa’id muhimma yahtaju mufassir ila ma’rifatiha 43Fi al-muhkam wa al-mutashabih 44Fi muqaddamihu wa mu’akhkharihu 45Fi ‘amihi wa khasihi 46Fi mujmalihi 47Fi nasikhihi wa mansukhih 48Mushkilihi wa mawhim al-ikhtilaf wa al- tanaqud 49Mutlaqihi wa muqayyadihi 50Fi mantuqihi wa mafhumihi 51Fi jami’i mukhatabatihi 52Fi haqiqatihi wa majazihi 53Fi tashbihihi wa isti’aratihi 54Fi kinayatihi wa ta’ridihi 55Fi al-hasri wa al-ikhtisas 56Fi al-ijaz wa al-itnab 57Fi al-khabar wa al-insha’ 58Fi bada’i‘ al-Qur’an 59Fi fawâsil al-Ay 60Fi fawatih al-suwar 61Fi khawatim al-suwar 62Fi munasabat al-ay wa al-suwar 63Fi al-ayat al-mushtabihat 64Fi I’jaz al-Qur’an 65Fi al-‘ulum al-mustanbata min al-Qur’an 66Fi amthalihi 67Fi aqsamihi 68Fi jadalihi 69Fi al-sama’ wa al-kuna wa al-alqab 70Fi mubhamatihi 71Fi asma’i man nasala fihim al-Qur’an 72Fi fadail al-Qur’an 73Fi fadl al-Qur’an wa fâdilihi 74Fi mufradat al-Qur’an 75Fi khawas al-Qur’an 76Fi marsum al-khatt 77Fi ma’rifat tafsirihi wa ta’wilihi 78Fi ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi 79Fi ghara’ib al-tafsir 80Fi tabaqat al-mufassirin

  20. Bagan Pengelompokan Kajian Ulum al-Qur’an menurut Bulqini

  21. Karya-karya sarjana muslim yang memuat kajian al-Qur’an sepanjang sejarah perkembangan keilmuan ini • Muhammad b. ‘Alî al-Adfawî (w. 388) al-Istighnâ’ fî ulum al-ul-Qur’an; • Ibn al-jawzi (w. 597) Funûn al-Afnân fi ‘ajâ’ib ulum al-Qur’ân; • Badr al-Din Zarkâsyî (w. 794) al-Burhan fi Ulûm al-Qur’an; • Jalal al-Din al-Bulqini (w. 824) mawaqi’ al-‘ulum min mawâqi’ al-nuzul; • Jalal al-Din al-Suyûtî (w. 911) al-Itqân fî‘ulûm al-Qur’ân; • Syaikh Tâhir al-Jazâ’irîal-Tibyân fî‘ ulûm al-Qur’ân; • Syaikh Muhammad ‘Alî Salama Manhaj al-Furqân fî‘ulûm al-Qur’ân; • ‘Abd al-Azîm al-ZarqânîManâhil al-‘Irfân fî‘Ulûm al-Qur’an; • Ahmad Ahmad Ali Madzkara fi ulum al-Qur’an; • Subhi Salih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an; • Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, • Mafhum al-Nass dirasah fi Ulum al-Quran. • Hasbi as-Siddiqi, Pengantar ilmu Tafsir, • Dan lain-lain.

  22. Karya-karya sarjana peneliti Barat (oreintalis) mengenai studi al-Qur’an • W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an halaman 179-181. • Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an hasil editan Andrew Rippin, Oxford: Clarendon Press; • With Reference for the Word, Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity and Islam oleh Jane Dammen Mc Auliffe (ed.), dkk. Oxford: Oxford University Press, 2003; • Dan masih banyak lagi tentunya

  23. b Kelompok Kajian Tafsir dan Metode Penafsiran

  24. Pengelompokan Karya-karya Tafsir berdasarkan Metode Penafsirannya

  25. Tafsir Ijmali • Metode Tafsir Ijmali dimaksudkan sebagai metode tafsir di mana mufassirnya menerangkan makna ayat yang ditafsirkannya secara ringkas dan global saja, biasanya dengan menyebut penjelasan tentang i’rab atau padanan kata (muradif) dari kata-kata dalam ayat al-Qur’an. • Contoh karya yang menerapkan metode penafsiran semacam ini adalah Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jamaluddin al-Suyuti; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.

  26. Tafsir Muqaran • Tafsir Muqaran dimaksudkan sebagai sebuah metode penafsiran di mana mufassirnya melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan mengetengahkan pandangan sejumlah mufassir lain. Dalam hal ini, seorang penyusun tafsir muqarin akan mengetengahkan sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ia menampilkan pandangan ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu. Analisis utama yang digunakan adalah analisis perbandingan di mana satu pendapat akan ditimbang dengan pendapat yang lain. Begitu seterusnya dalam setiap tema maupun ayat yang disodorkannya. • Adakalanya, metode tafsir ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penafsiran al-Qur’an dalam arti yang lebih luas, yaitu penafsiran yang membandingkan antara nass al-Qur’an yang satu dengan ayat yang terdapat dalam bahagian lain al-Qur’an menyangkut sebuah pokok persoalan, atau bisa juga perbandingan antara teks al-Qur’an dengan teks hadis yang makna lahiriahnya menampilkan sebuah kontradiksi.

  27. Tafsir Maudu’i • Metode Tafsir Mawdu’i adalah metode penafsiran yang menampilkan pembahasan dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesatuan tema kemudian diurutkan berdasarkan periode turunnya, latar belakang konteks sosio-historis yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu, serta penjelasannya, keterkaitan satu dengan yang lain, dan begitu juga tentang istinbat hukum yang bisa diambil, dan elemen-elemen penjelasan yang lain. • Kajian teoretis dan contoh praktis metode penafsiran tematik ini dapat dilihat dalam Abd al-Hayy Farmawi, al-Bidayah fi Tafsir al-Mawdu’i, dirasah manhajiyya mawdû‘iyya.

  28. Tafsir Tahlili • Metode tafsir Tahlili didefinisikan sebagai penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segenap aspek yang terkait dengannya, seperti: • dengan memberikan penjelasan terhadap al-Quran menurut tata urutannya, seperti yang termaktub di dalam mushhaf, seayat demi seayat, dan surat demi surat secara berurutan, dengan mengetengahkan makna kalimat-kalimatnya satu persatu, • atau juga dengan mengungkapkan maksud ayat secara keseluruhan, dan apa yang bisa diungkapkan melalui susunan kalimatnya, • menguraikan kaitan ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat dan surat sebelum dan sesudahnya, • menjelaskan inti yang menjadi pengikat di antara maksud-maksudnya, mencoba menghubungkan dengan tujuan yang dimaksudkan, juga argumentasi yang mendukungnya, • Menjelaskan asbab nuzul, serta penjelasan yang telah dinukilkan oleh Rasulullah, para sahabat, juga tabiin, • Serta penjelasan tentang masalah kebahasaan yang berkaitan dengan teksnya.

  29. Corak Penafsiran yang menggunakan metode tahlili

  30. Tafsir bil Ma’tsur • Tafsir bil ma’tsur pada dasarnya menampilkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang diambil dari sumber-sumber tradisional Islam yang secara hierarkhis diurutkan mulai dari al-Qur’an, hadis Nabi SAW, atsar sahabat, dan qawl tabiin. • Prosedur yang ditempuh mufassir: • menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an utamanya didasarkan kepada penjelasan yang diberikan oleh bahagian lain al-Qur’an sendiri. • Bila tidak didapati penjelasan di bagian lain al-Qur’an, maka penjelasan diambilkan dari hadis-hadis yang dinukilkan dari Rasulullah SAW • Bila hadis tidak didapati, maka yang menjadi sandaran adalah penjelasan yang dinukilkan dari para sahabat yang dengan ijtihadnya mereka mengungkapkan penjelasan atas ayat-ayat al-Quran. • Jika tidak didapati atsar sahabat, maka penafsiran diambilkan melalui penjelasan kaum Tabiin mengenai ayat-ayat al-Quran yang merefleksikan ijtihad yang mereka lakukan. • Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: • Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. • Kedua, marhalatadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah. • Contoh Tafsir bil ma’tsur dengan rangkaian sanad yang lengkap adalah karya Ibnu Jarir at-Tabarī (w. 310 H), Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Di dalam kitab ini Tabari menyebutkan: • pendapat, • arahan, • timbangan terhadap validitas riwayat antara satu dengan yang lain, • penjelasan tentang i’rab jika dibutuhkan, • istinbat hukum yang dimungkinkan untuk diambil dari ayat-ayat Quran tersebut. • Dalam perkembangan sesudahnya, para ulama menyusun kitab tafsir bil ma’tsur tanpa menyertakan isnadnya, dan kebanyakan menyertakan pendapat di dalam kitab tafsir mereka tanpa memilah mana yang sahih dan mana yang tidak, oleh sebab dimungkinkannya pula menyertakan pandangan yang mawdū‘ dan dibuat-buat. Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsuur sesudah Tabari adalah • Ma‘ālim al-Tanzīl karya al-Baghāwī (w. 512 H); • Tafsir al-Quran al-‘Azîm karya Ibn Katsir (w. 774 H), • Al-Durr al-Mantsūr fī tafsīr al-Ma’tsūr karya al-Suyūtī (w. 911 H)

  31. Tafsir bil Ra’yi • Tafsir bi al-Ra’yi adalah sebutan untuk tafsir al-Quran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad. Prasayarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam penafsiran ini adalah pengetahuan yang baik tentang kalimat bahasa Arab dan aspek-aspeknya. Selain itu, ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mufassir juga harus memiliki pengetahuan tentang syair-syair jahiliah, serta mengetahui asbab al-nuzul, memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal nasikh mansukh ayat al-Quran, dan ilmu lainnya. • Latar belakang munculnya corak penafsiran ini adalah ketika ilmu-ilmu keislaman berkembang dengan aneka ragam corak yang bermunculan, pada saat yang sama para ulama mengalami puncak kejayaan dengan beragam karya yang memuat ilmu-ilmu keislaman. Hal tersebut berkembang pesat lantaran sarjana muslim giat dalam menelaah kitab suci al-Qur’an, sehingga ketika tafsir sudah mulai berkembang banyak dan ilmu-ilmu keislaman juga sudah muncul dengan aneka ragam disiplin, maka setiap mufassir berusaha mengembangkan corak penafsiran yang berbeda dengan corak penafsiran yang dibuat oleh mufassir lainnya. • Kecenderungan untuk membuat tafsir yang berbeda dengan tafsir yang dibuat oleh ulama lain, misalnya menjadi alasan mengapa Zamakhsyari menyusun kitab tafsirnya al-Kasysyaf sebagai tafsir yang mencirikan analisis atas ketinggian balaghah al-Qur’an. Begitu juga ketika seorang alim disamping terkenal dalam ilmu tafsir, ia juga seorang faqih, atau ahli bahasa, atau bahkan seorang failasuf dan ahli ilmu astronomi serta teologi. Maka muncullah pandangan-pandangan ijtihadi yang menjadi ciri khas corak keilmuan yang dikuasai dalam tafsir yang disusunnya. Sehingga, jika sebuah ayat al-Quran memiliki kaitan dengan ilmu yang dimilikinya, maka keluarlah pengetahuannya tentang masalah tersebut. • Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah: • Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H); • Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H); • Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H); • Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H); • Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāyaal-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).

  32. Tafsir Sufi • Corak penafsiran ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: • zhahir, • batin, • hadd, dan • matla’. • Di samping itu, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalahakhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti. • Klaim Sufi sebagai pengemban risala akhlaqiyya memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti. • Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. • Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi: • Tafsir al-Qur’ān al-Azim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); • Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H); • Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, • Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).

  33. Tafsir Fiqhi • Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī. Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu. • Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi. • Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut. • Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī: • Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); • Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); • Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).

  34. Tafsir Falsafi • Latar belakang yang menyebabkan munculnya corak penafsiran falsafi terhadap al-Qur’an adalah karena berkembangnya gerakan penerjemahan yang dilakukan pada masa Abbasiyah. Gerakan ini telah membuka khazanah berbagai ilmu pengetahuan, termasuk pemikiran filsafat Yunani. • Ada dua reaksi atas perkembangan semacam ini: • Pertama, sebagian kelompok menolak filsafat karena bertentangan dengan agama. Kelompok ini mengerahkan seluruh hidupnya untuk menolak dan menjauhkan orang dari filsafat. Di antara para tokohnnya yang terkenal adalah • Imam Ghazali, dan • Fakhr al-Din al-Rāzī • Keduanya memaparkan dalam tafsirnya teori-teori filsafat yang jelas-jelas berada dalam pandangan yang bertentangan dengan agama, dan dengan al-Quran secara khusus. Maka mereka menolak sesuai dengan kadar yang bisa mencukupkan argumentasi dan mengkritik metodenya. • Kedua, kelompok yang sangat mengagumi filsafat dan menerima teori-teroi yang sebenarnya bertentangan dengan nass syariat yang dipercaya bersifat pasti. Kelompok ini mengupayakan adanya keserasian antara falsafah dengan agama, dan menghilangkan pertentangan di antara keduanya. Akan tetapi, kelompok ini tidak sampai pada tahap penyesuaian yang benar-benar sempurna, sebagaimana terlihat dalam penjelasan mereka terhadap ayat-ayat al-Quran yang berupa penjelasan yang disokong oleh teori-teori filsafat yang tidak mungkin dimiliki oleh nash al-Quran dalam kondisi apapun. • Kitab tafsir yang tergolong ke dalam corak penafsiran falsafi yang mewakili kelompok yang menolak filsafat adalah Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Razī (w. 606 H), • sedangkan dari kelompok kedua tidak ada karya yang bisa dikelompokkan ke dlaam karya tafsir selain dari penafsiran terhadap penggalan-penggalan ayat al-Qur’an dalam kitab filsafat.

  35. Tafsir Ilmi • Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.” • Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah yang berkenaan dengan itu. Walhasil, ketika sebagian ulama menangkap hakikat bahwa al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir dan menguasai ilmu pengetahuan, mereka menyusun tafsir ayat-ayat kauniyah, menurut kaidah bahasa dan kelazimannya, menurut ukuran yang mereka bisa terangkan sebagai bagian ilmu yang bersumber dari agama mereka berdasarkan kesimpulan analisis yang mereka dapatkan dari kenyataan pula. • Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah • Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan • Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. • Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.

  36. Tafsir Adabi Ijtima’i • Tafsir Adabi Ijtima’i yaitucorak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar dalam prosedur penafsirannya mufassir menerangkan: • makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, • menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, • Semua dilakukan sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an. • Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini: • Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), • Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan • Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.

  37. c Kelompok Kajian Hadis dan Ilmu Hadis

  38. Pengertian dan Ruang Lingkup • Kajian Hadis dimaksudkan sebagai kajian yang menjadikan hadis Nabi SAW sebagai objek kajiannya. • Dalam hal ini, ada 2 elemen utama yang terkait dengan hadis: • pertama, matan atau substansi pernyataan dalam sebuah hadis; dan • kedua, sanad atau daftar para perawi yang berperan dalam mentransmisikan hadis itu sampai kepada perawi terakhir yang menuliskannya di dalam sebuah kitab hadis.

  39. Klasifikasi Bidang Kajian dalam Ilmu Hadis • Ilmu rijal al-hadits guna mengetahui ihwal perawi di kalangan sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin • Ilmu tawarikh al-ruwât, yaitu ilmu yang menjelaskan biografi para perawi hadis: kapan dan di mana dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang mengambil hadis darinya, dan di mana ia wafat. Contoh karya bidang ini: • al-Tarikh al-Kabîr karya al-Bukhârî (w. 252 H); • Tarikh Nisabûr al-Hakim al-Naisabûrî; • Tarikh Baghdâd karya al-Khatîb al-Baghdâdî; • Tahdzib al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl karya Abû al-Hajjâj Yusuf al-Mizzî ( w. 742 H); • tahdzib al-tahdzîb karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H) • Ilmu Tabaqât membahas kelompok orang-orang (jama’ah) yang memiliki kesamaan masa hidup. Contoh kitab • Tabaqât al-Kubrâ karya al-Wâqidî (w. 230 H); • Tabaqât al-Ruwât karya Khalifa b Khayyâth al-Syaibanî (w. 240 H); • Tabaqât al-Tâbi’în karya Muslim (w. 261 H), • Tabaqât al-Muhadditsîn wa al-Ruwât karya Ahmad b Abd Allah b Ahmad al-Isfahânî (w. 430 H); • Tabaqât al-Huffâzh karya al-Dzahabî (w. 748); dan tabaqât al-hiffâdz karya al-Suyutî (w. 911 H).

  40. Ilmumu’talif dan mukhtalif, yaitu ilmu yang membahas kesamaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran, atau nama keturunan para perawi, tetapi bunyi bacaannya berlainan. Bila sama bunyi lafadznya disebut mu’talif, bila tidak disebut mukhtalif. Ada pula istilah yang dikenal dengan muttafiq dan muftariq yang membahas kesamaan bentuk tulisan dan ucapan, tetapi orangnya berlainan. Contoh karya di bidang-bidang ini: • al-Mu’talif wa al-mukhtalif fî asmâ’i naqlat al-hadits dan Musytabih al-nisba karya Abd al-Ghanî b Sa’d al-Azdî (w. 409 H); • al-Musytabih fî asmâ’ al-Rijâl karya Dzahabî (w. 748); dan • Tabsîr al-muntabih bi tahrîr al-musytabih karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H). • Ilmu jarh wa ta’dîl membahas ihwal perawi dari segi diterima ataupun ditolak periwayatannya. Kitab-kitab yang termasuk bidang ilmu ini: • Ma’rifat al-Rijal karya Ibn Ma’in; • al-Du’afâ karya al-Bukhârî (w. 252 H); • al-Thiqât karya Ibn Hibbân (w. 304 H); • Al-Jarh wa al-Ta’dîl karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 326); • Mîzân al-I’tidâl (3 vol) karya Al-Dzahabî (w. 748); • Lisân al-Mîzân (6 vol) karya Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852 H).

  41. Ilmu gharîb al-hadits membahas lafazh-lafazh dalam matan hadis yang sulit difahami karena jarang dipergunakan. Karya-karya bidang ini: • Gharib al-Hadits oleh Abu Ubayd Qâsim b Salâm (w. 224 H); • al-Fâ’iq fî Gharib al-hadits karya Zamakhsyarî (w. 538 H); • al-Nihâya fî Ghârib al-Hadîts wa al-Athâr oleh Ibn al-Atsîr al-Jazarî (w. 606 H). • Ilmu asbâb wurûd al-hadits menerangkan sebab lahirnya sebuah hadits. Contoh karya bidang ini: • Al-Bayân wa Ta’rîf fî Asbâb wurûd al-Hadits al-Syarîf karya Ibn Hamzah al-Husainî (w. 1120 H). • Ilmu tawârikh al-mutûn membahas kapan dan di mana sebuah hadits diucapkan oleh Nabi SAW. Perintis ilmu ini Abû Hafs Amr b Salar al-Bulqînî dengan kitab Mahâsin al-Istilâh. • Ilmu nâsikh wa al-mansûkh membahas hadits-hadits yang berlawanan maknanya dan tidak mungkin mengkompromikannya lagi, sehingga perlu ditentukan mana yang nâsikh dan mana yang mansûkh. Karya bidang ini • Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Bakr Ahmad b Muhammad al-Atsram (w. 261 H); juga • Nasikh al-Hadits wa mansûkhuh karya Abu Hafs b Ahmad al-Baghdâdî, populer dengan sebutan Ibn Syâhîn (w. 385 H); • al-i’tibâr fî al-Nâsikh wa al-mansûkh min al-atsar karya Abu Bakr Muhammad b Musa al-Hâzimî (w. 585)

  42. Ilmu mukhtalif al-hadits membahas hadits-hadits yang pada lahirnya saling berawanan, yaitu dengan menghilangkan pertentangan itu, ataupun dengan mengkompromikannya. Contoh karya: • Mukhtalif al-Hadits karya al-Syâfi’î; • Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits karya Abd Allâh b Muslim b Qutaiba al-Daynûrî (w. 276 H); • Musykil al-Atsâr karya Ahmad b Muhammad al-Tahanâwî (321 H); • Musykil al-hadits wa bayânuh karya Ibn Furak al-Isfahanî (w. 406). • Ilmu ‘ilal al-hadits membahas sebab tersamar yang membuat kecacatan sebuah hadits, seperti menyambungkan sanad yang munqati’, memarfu’kan berita yang mauquf, menyisipkan satu hadits dengan yang lain, atau memutarbaikkan matan dengan sanad, dan sebaliknya. Contoh karya: • al-Tarikh wa al-ilal karya yahya b Ma’in (w. 233); • Ilal al-hadits karya Ahmad b Hanbal (w. 241); • al-musnad al-mu’allal karya Ya’qub b Syaibah al-Sudusy al-Basrî (w. 279); • al-Ilal karya Isâ al-Tirmidhî (w. 279); • Ilal al-Hadits karya Ibn Abî Hâtim al-Râzî (w. 327); dan • al-Ilal al-wârida fî al-ahâdits al-nabawiyya karya Ali b Umar al-Dâruqitnî (w. 375).

  43. Catatan tentang Kemungkinan Penelitian Bidang Kajian Tafsir Hadis secara Multi-Disipliner • Dari ketiga kelompok kajian pokok dalam bidang ilmu Tafsir Hadis, selain mengandalkan pemakaian paradigma keilmuan masing-masing secara mandiri, juag dimungkinkan untuk mengadakan penelitian ketiga bidang tersebut sekaligus melalui penelitian multi-disipliner. • Contohnya, jika seseorang melakukan penelitian terhadap karya tafsir bil ma’tsur, misalnya, maka ia selain diharuskan menguasai bidang kajian metode tafsir, maka ia juag diharapkan memiliki keahlian yang memadai di bidang hadis dan ilmu hadis sebagai bidang ilmu sekunder karena tolok ukur validitas corak penafsiran ini menggunakan parameter kajian hadis dan ilmu hadis. • Begitu juga jika seseorang hendak melakukan penelitian tentang karya-karya tafsir bil ra’yi, maka bidang-bidang keahlian sekunder dalam ilmu-ilmu keislaman yang secara khusus menandai jenis corak tafsir yang diteliti: tasawuf, fiqih, filsafat Islam, sastra, atau tafsir ilmiah secara umum perlu dikuasai secara mumpuni guna dapat menghasilkan analisis yang optimal. • Jika kemudian bidang ilmu sekunder yang harus dikuasai itu berada di luar bidang kajian keislaman, maka yang terjadi adalah penelitian yang bersifat inter-disipliner.

  44. 3 Ragam Pendekatan Interdisipliner

  45. Standar Kompetensi Mahasiswa memahami urgensi penelitian melalui pendekatan interdisipliner mengingat keterkaitan antara bidang kajian ilmu hadis dengan bidang-bidang kajian serta pisau bedah analisis yang berasal dari luaur bidang ilmu Tafsir Hadis secara mandiri dalam iklim pengkajian Islam di era modern dewasa ini. Kompetesi Dasar Mahasiswa mampu menguaraikan ragam pendekatan yang ada dalam penelitian bidang kajian Tafsir hadis melalui skema penelitian interdisipliner, baik itu menyangkut kajian naskah secara filologis, amauun kajian kritik yang bersifat tekstual dan kontekstual, juga pendekatan interdisipliner menggunakan analisis filsafat hermeneutika dan kajian gender. Pertemuan Ke-5, 6, 7, dan 8

  46. Filologi Kritik Naskah Ragam Pendekatan Interdisipliner dalam Penelitian Tafsir Hadis Kritik Kontekstual Hermeneutika Kesetaraan Gender

  47. Pendekatan Filologis • Dalam kajian linguistik, filologi sering dirujuk sebagai ilmu untuk memahami teks dan bahasa kuno. • Atas dasar anggapan lingusitik itulah dalam tradisi akademik istilah filologi dijelaskan sebagai kajian terhadap sebuah bahasa tertentu bersamaan dengan aspek kesusasteraan dan konteks historis, serta aspek kulturalnya. • Arti penting kajian ini adalah guna dapat memahami sebuah karya sastra dan teks-teks lain yang memiliki signifikansi secara kultural. • Dalam hal ini dapat pula dijelaskan di sini bahwa lingkup kajian filologis meliputi: • kajian tentang tata bahasa, • gaya bahasa, • sejarah bahasa, • penafsiran tentang pengarang, • tradisi kritikal yang dikaitkan dengan bahasa yang disampaikan.

More Related