280 likes | 1.44k Views
OEMAR BAKRI cerpen juara-1 lomba cerpen guru tingkat Nasional versi Majalah BOBO-2006.
E N D
OEMAR BAKRI cerpen juara-1 lomba cerpen guru tingkat Nasional versi Majalah BOBO-2006 Pagi hari hujan rintik-rintik Pak Oemar menunyun motor bututnya, Motor tahun 70-an. Kakinya mengentakkan pedal slah berkali-kali. Motor tetap ngambek, Kalau bisa bicara, motor merah itu minta pendsiun. 30 tahun lebih mengantar Pak Oemar ke mana pun pergi. Ah, busi kotor, pikirnya seraya melepas busi dan pergi membersihkan. Kemudian, Jleerrrrr…! Pak Oemar menghela nanapas lega. Pelan-pelan motor itu mulai berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Belum sampai tujuan, tiba-tiba peesss….! Stang oleng, ban depan kempes
Sreettt……! “Hee! Hatihati,Pak! Berhenti mendadak di jalan! , teriak sopir bus sambil marah. Pak Oemar menunujuk ban motornya yang kempes. Sopir bus geleng-geleng kepala, namun berubah terkejut san segera turun. “Maaf… maaf, Pak Oemar?” sopir bus bertanya sopan. “Kok, tahu nama saya?” Pak Oemar balik bertanya. “Saya Ipan,murid Bapak di SMP Kepulan, lulus tahun tujuh puluh delapan. Maaf Pak”. “Tidak apa-apa, untung bus mu belum menabrak bapak”
“Naik bus saja Pak. Kebetulan bus ini lewat SMP Kepulan,” Ipan menawari. Pak Oemar menolak karena harus menambalkan ban sepeda motornya dulu. Ipa kecewa tak bisa menolong gurunya. Keringat Pak Oemar bercucuran menuntun sepeda motor kempes. Waktru terus berlalu, arloji menunjukkan pukul 07.00. Hati Pak guru itu berdesir, mmbayangkan murid-murid yang sedang menunggunya. Kebetulan ada tambal yang buka di jalan itu “Oooo … Pak Oemar, bannya kempes?” tanya tukang tambal ban itu. “Siapa kamu?” “Bapak guru SMP Kepulan, saya Amang lulus tahun…”
“Ooo.. Murid,” gumam Pak Oemar. “Aduh,Pak.Celaka, bocor tiga. Apalagi tambalannya sudah sembilan”. Jadi ganti ban baru saja Pak” lapornya setelah melihat ban. “Hemm.. Ganti ban? Wajah Pak Oemar berkerut, tangannya meraba sakunya yang kosong. “Kalau begitu Bapak beli ban dulu ya”, katanya sambil beranjak pergi. Amang memenggil gurunya bermaksud mengantar, namun langkah Pak Oemar cepat menghilang dan sudah masuk sebuah waretl. “Halo, Selamat pagi Pak Jaka, saya Pak Oemar. Terpaksa terlambat motor ngambek… Hati Pak Oemar agak tenang, murid sudah ditangani Pak Jaka
Tanggal tua bagi Pak Oemar tak ada uang untuk membeli ban. Untuk membeli ban, Pak Oemar perlu mengambil uang di bank. Bus kota penuh sesak Pak Oemar tetap bergelantungan di bus itu dengan tujuan BRI, dibayarnya kondektur bus itu dengan uang pecaha. “Uang Bapak tidak laku,” kata kondektir itu. Mendadak ia terkejut campur bingung. “He! Uangku palsu?” Masak tega sama guru minta bayaran”, seloroh kondektur itu. “Muridku? Pak Oemar terkejut dan tak jadi bingung
“Ipung Pak, saya SMP Kepulan lulus tahun…” “Ooo…! Terimakasih!”. gumamPak Oemar. “Balas budi ni yee…” celetuk seorang penumpang, membuat yang lainnya tertawa. Pak Oemar ikut tertawa. Kondekturnya bersungut-sungut. Di depan BRI Pak Oemar turun. Antrean di loket sangat panjang. Kira-kira satu jam baru dapat. Sambil berdiri, angan-angannya melayang membayangkan murid-muridnya belajar tanpa kehadirannya.
…baru sadar saat tangan halus memegang lengannya dan membawa masuk ke ruang dalam. “Pak Oemar akan menabung atau ambil uang?, tanya wanita cantik itu dengan sopan. “Nanti dulu, siapa kamu? “Bapak lupa ya? Saya Farida murid Bapak SMP…” “Ooo.. Ya lupa. Kau sudah dewasa sekarang”, “Bapak mau ambil uang,”katanya menyerahkan buku tabungannya. Hanya lima menit prosesnya selesai. Pak Oemar keluar dari bank, Bus kota tetap penuh sesak. Terpaksa Pak Oemar menggelantung di pintu bus kota.
Tangan kanan berpegangan pintu, yang kiri memegang tas. Tiba-tiba tanpa disadrai… wuss.. Tas terlepas diserobot orang berkendra sepeda motor. Pak Oemar berterik-teriak, sopir merespon mengejar sepeda motor penjambret tersebut. Sial bus kalah cepat dari sepeda motor itu. Pak Oemar turun di kantor polisi. Ia sedih kehilangan tas itu,bukan karena uang yang ada disitu, tetapi catatan-catatan penting ada di situ. “Selamat pagi Pak,Pak Oemar!”, sapa seorang petugas piket. “Siapa kau?” “Saya murid Bapak di SMP…”. “Wah, kau muridku juga?”.
“Baik Pak laporannya saya terima dan tindaklanjuti”, jawab polisi itu. Pak Oemar meningglakan kantor polisi menuju sekolah. Selaku guru, ia bangga murid-muridnya masih memegang aturang sopan santun, murid-muridnya berguna bagi kehidupan, entah berkedudukan tinggi atau rendah. Siang hari saat mengajar, tiba-tiba datang berita dari kantor polisi. Seseorang seseorang menubruk kakinya menangis penuh penyesalan. Pa Oemar terkejit dibuatnya. “Maafkan saya Pak Oemar. Saya sungguh khilaf. Sungguh tak tahu kalau yang saya jambret adalah Pak Oemar. Ampunilah Pak, saya kapok”. Saya Bopeng, Pak, dulu murid Bapak…
Pak Oemar termangu-mangu bagai patung. Bayangan murid-muridnya menjadi orang-orang baik sirnalah sudah. Isi dunia memang ada baik ada buruk. Ada senag ada susah. Hati Pak Oemar bagai disayat sembilu. “Hemm..”Pak Oemar menarik napas panjang karena dada sesak. Tak terasa tetes air mata jatuh ke kepala penjambret itu. Ia memaafkan, tetapi hukum tetap berlaku, bagi siapa saja, termasuk muridnya. Hari itu hari terakhir Pak Oemar menjadi guru di sekolah itu, Empat puluh tahun sudah ia mengabdi mengajar di sekolah itu. Secarik kertas SK pensiun di tangannya. Di aula sekolah banyak orang menunggunya. Entah dari mana orang-orang itu tahu gurunya purna tugas hari ini
Satu demi satu orang yang menunggunya itu menyalaminya. “Saya Farida direktur BRI! Saya Nanda programer di…! Saya Lita arsitek di..! Saya Didi …. Saya… saya…bejo tukang parkir…dst. “Pak Oemar tak henti-henti mendapat ucapan selamat telah berhasil menjalankan tugas mulianya. Boleh dikata mereka yang datang ini dari berbagai lapisan masyarakat… tetapi. Kemudian pikirannya melayang ke ..si penjambret..
Ia mengelus dada, hatinya berdegub tak dapat didefinisikan … Keluar dari aula, di halaman masih ada acara. Ini benar0benar membuat hatinya tambah berdegup. Ia melihat sebuah mobil berwarna biru mulus, dihiasi pita bak sebuah kado raksasa. Benda ini hasil patungan dari murid-muridnya yang mendapatkan rezeki berlebih. Saat menyeraahkan seluruh nyang hadir tegang bercampur haru. Namun ucapan Pak Oemar mengejutkan
“Kuterima pemberian anak-anakku, Terimakasih sekali, kebahagiaan Bapak tidak dapat diucapkan dengan kata-kata hari ini… Semoga kalian mendapatkan pahala dan mendapat pengganti pemberianmu ini dengan rezeki yang berlipat-lipat… dari Tuhan. Namun, saat ini, Bapak hidup hanya sebatang kara, dan sudah tua, Mobil ini kusarahkan kepada SMP Kepulan, niscaya akan lebih bermanfaat untuk mengurusi kegiatan anak-anak di sini. Semua terpana atas ucapan itu, kemudian guru itu menuntun motor bututnya itu, meningglkan SMP Kepulan, tempatnya mengabdikan hidupnya selama ini menuju rumah sangat sederhana. Titik air mata haru tumpah di halaman sekolah itu.
Cerpen PAK Guru Sabaaar Kami, para murid menyebut dengan a tiga kali. Karena beliau memang sangat sabaaar, bukan hanya sabar. Kebetulan beliau mengontrak di Gang sabar, dan nama orang tuanya juga memakai nama Sabar, yaitu Pak Sabariman, tinggal di Gang Sabar. Orangnya memang sabar.
"Sabar itu dikasihi Tuhan," katanya selalu tenang, tak terburu-buru, menyejukkan." Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau perlu terus menerus sabar." Kami murid-muridnya sering menggoda. "Kalau sekolah kita terbakar, semua sudah lari ketakutan …. Bapak masih berseru sabaar, sabaaar….. yah sudah terlanjur habis jadi abu." "Walaupun hanya sebagai perumpamaan, sebaiknya tidak mengumpamakan terjadi kebakaran, kurang baik."
Begitu selalu tenang, kalem, membuat pendengarnya tenang. Kadang juga diuntungkan. Kalau lupa mengerjakan pekerjaan rumah, kita punya alasan. "Sabar Pak …. belum selesai." "Ya.. Bapak tunggui ..." Kami jadi mati kutu. Bayangkan Pak Guru mau menunggui. Benar-benar menunggui, tanpa menggerutu. Sampai selesai. Memeriksa, kalau masih ada yang salah, dirusuh membetulkan.
Sulit kami membayangkan bahwa seseorang bisa marah kepada Pak Guru Sabar. Ya menyebutkan harus 'pak guru'. Sebab, ini kata Pak Guru Sabar sendiri. "Banyak nama Sabar. Ada Gang Sabar. Ada Bakso Sabar. Ada Becak Sabar. Ada kucing dinamai Sabar. Tapi nyatanya ada. Ini terjadi suatu pagi ketika pelajaran baru akan mulai. Ada seorang ibu-ibu yang masuk kelas tanpa mengetuk. Langsung menggebrak dengan kata-kata keras.
"Saya mau protes, Pak" "Silakan… mau protes di sini apa mau di ruang guru? Mau sekarang apa mau besok atau minggu depan." Kami suka geli. Maunya tertawa, tapi ibu itu tambah meledak. "Sekarang. Saya mau protes. Anak saya Lisa tidak masuk karena ada keperluan di rumah, bukan membolos. Keperluan itu sangat penting, karena menyangkut persoalan dengan bapaknya." "Bisa dimengerti, Bu" "Makanya jadi guru jangan sok kuasa. Jangan main hakim langsung menjatuhkan sanksi. Kalau ditulis membolos, kami dirugikan," "Akan diganti?"
"Diganti apa?" Teriak ibu-ibu itu dengan nada tinggi. "Kalau rugi, apa perlu ganti rugi" Tadi ibu mengatakan dirugikan." "Ini bukan soal ganti rugi. Bagaimana Bapak ini ?" "Ya saya begini ini." "Pokoknya saya protes. Kalau sampai Lisa dituliskan membolos atau mangkir, saya akan bubarkan sekolah ini."
"Janganlah Bu … terus kami belajar di mana?" • "Ya terserah. Pokoknya jangan sampai Lisa, anak saya, dinyatakan sebagai pembolos. Sebagai guru, Bapak harus bisa memberi contoh yang baik. Sebagai guru, Bapak itu mendidik. Bukan melulu menjatuhkan hukuman. Itu namanya asal menjatuhkan hukuman. • "O, begitu ya." • "Bapak ini guru apa pelawak. Serius dong."
"Saya serius, Bu. Tapi yang dimaksudkan Lisa yang mana?" Monalisa? Marlisa? Lisawati? Alisa ?" "Anak saya. Namanya Belisa Waina." Pak Guru Sabar membukai catatan nama murid. Kalem. "Masak sama murid sendiri tidak hapal. Guru apaan itu?" "Di sini nama Belisa Waina tidak ada. Nama Celisa, Delisa, Elisa, Eflisa, Gelisa, Halisa… juga tidak ada."
"Masak anak saya tidak terdaftar di sini?" • " Ya, nyatanya tidak. Anak ibu kelas berapa?" • " Kelas enam." • " Ini kelas lima." • Kami semua tertawa. Apalagi melihat ibu itu berubah wajahnya. Sementara Pak Guru Sabar tetap tenang. • "Ini SD Satu Nusa … Anak ibu di SD mana … SD Satu Bangsa, atau SD Satu Bahasa?"
"Bapak ini sudah tahu dari tadi kenapa tidak ngomong ?" • "Saya akan ngomong, ibu masih ngomong. Kalau salah satu ngomong, ya satunya mendengarkan." • Ibu segera bergegas meninggalkan ruangan. • "Harusnya dia minta maaf, " saya tak bisa menahan diri. • "Sabar … kalau tidak sekarang, hari lain…." • Begitulah Pak Guru Sabar. Sungguh beliau guru yang baik, yang penuh pengertian. Walau kami tahu rumahnya masih mengontrak, berangkat ke sekolah pakai kendaraan umum, tapi tak pernah kehilangan kesabaran. Padahal kami para murid-muridnya suka bandel.
Drama Uang Temuan karya FC.Nari. • .......................................................................................................................................................................................................................................... Dua orang anak Oka dan Oki sedang berjalan dan menemukan gulungan uang yang diikat karet. Dua anak saling memandang Oka memungut benda itu dan berkata Oka : Wah! Rezeki! Oki : Pasti pemiliknya sedih kehilangan uangnya. Oka : Kalau ada uang di jalan raya, berarti uang tidak bertuan.Jad, siapa yang menemukan,maka ia yang memiliki. Oki : Mungkin pemiliknya masihmencari-cari, kasihan kan. Oka : Sebaiknya kita bagi dua saja uang ini, bagaimana? (Sambil menghitung gulungan uang kertas) Oki : Kita tunggu dulu sampai besok, jika tidak ada yang memiliki, kita baru boleh bertindak. Kedua anak dengan wajah kebingungan bergandengan tangan sambil mengamati uang temuan itu. ...............................................................................................
Di ruang makan rumah mereka, mereka membuka tudung saji di meja makan. Keduanya hanya mendapati nasi tanpa sayur dan lauk pauk. Dengan wajah bengong keduanya saling berpandangan lalu mengangkat bahu. Tiba-tiba dari arah dapur terdengar suara orang permpuan menangis. Oka : Ada apa, Bi? (kedua anak kebingungan menyaksikan tangisan Bi Supi) Oki : Bi Supi belum masak? (Bi Supi semakin keras tangisnya. Oka dan Oki semakin bingung) Oka : Bi Supi sakit,ya? Bi Supi : (Sambil menggeleng kepala dengan wajah sedih) Tadi Bibi pergi ke pasar mau belanja uang belanjaan ..... tiba-tiba... tidak ada.....
Oki : Coba Bibi ingat-ingat dulu, tadi sebelum pergi ke pasar uangnya diletakkan di mana Bi Supi : I iiyya, bibi tadi sempat buang sampah dulu sebelum pergi ke Pasar. Oka : Berapa uang yang dibawa Bi? Bi Supi : Dua puluh tiga ribu....saya ikat dengan karet... (Oka dan Oki saling berpandangan, dan saling mengacungkan Jarinya. Oka mengeluarkan uang temuannya dari saku bajunya) Oki : Ini apa bukan Bi uang yang dibawa tadi?
Bi Supi : Be be be tuuulll...... (Sambil mengusap air mata di pipinya) Bibi takut sekali Den, kalau hilang betulan, Bibi tidak mampu Untuk menggantinya Den. Oka : (Sambil menyerahkan uang itu) Ya sudah sekarang cepat ke pasar, hati-hati, segera belanja dan Memasak. Kami ini sudah lapar lho Bi. Oka & Oki : (Bersama-sama ) Eeee uang temuan itu ternyata masih bertuan.