1 / 60

ANTROPOLOGI DAN GIZI

ANTROPOLOGI DAN GIZI. Oleh: Tim Pengajar. Sumber Bacaan. Foster,George M dan Anderson,Barbara Gallatin, “Medical Anthropology”, diterjemahkan oleh Priyanti Pakan Suryadarma, dan Meutia F Hatta Swasono, “Antropologi Kesehatan”, 1986, Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta.

michi
Download Presentation

ANTROPOLOGI DAN GIZI

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. ANTROPOLOGI DAN GIZI Oleh: Tim Pengajar

  2. Sumber Bacaan • Foster,George Mdan Anderson,Barbara Gallatin, “Medical Anthropology”, diterjemahkan oleh Priyanti PakanSuryadarma,dan Meutia F HattaSwasono, “Antropologi Kesehatan”, 1986, Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta.

  3. Antropologi Dan Gizi • Di dunia, diperkirakan ratusan juta orang menderita gizi buruk dan kekurangan gizi. Angka yang tepat tidak ada, tidak ada mengenai sensus kelaparan, dan perbedaan antara gizi cukup dan gizi kurang merupakan jalur yang lebar, bukan suatu garis yang jelas.

  4. Lanjutan • Apapun tolok ukur kita, kelaparan ( dan sering mati kelaparan) merupakan hambatan paling besar bagi perbaikan kesehatan di negara-negara di dunia. Kekurangan gizi menurunkan daya tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Kekurangan protein-kalori dalam periode kanak-kanak setelah disapih menyebabkan kerusakan otak yang permanen.

  5. Lanjutan • Banyak dari masalah kekurangan gizi karena ketidakmampuan negara-negara non industri untuk menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang berkembang.

  6. Lanjutan • Hanya peningkatan-peningkatan yang besar dalam produk makanan di dunia, melalui metode-metode pertanian yang lebih baik saja yang dapat mengurangi gizi buruk dan kekurangan gizi yang berasal dari kekurangan kalori dan protein yang menyolok.

  7. Lanjutan • Namun banyak dari masalah juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan yang keliru, yang terdapat dimana-mana, mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka.

  8. Lanjutan • Kebiasaan gizi disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Hal ini tidak terbatas pada negara-negara di Dunia Ketiga saja, tetapi ditemukan juga dalam jumlah yang berlimpah di negara-nagara Berkembang termasuk Amerika.

  9. Lanjutan • Karena masalah gizi di seluruh dunia didasarkan atas bentuk-bentuk budaya, maupun karena kurang berhasilnya pertanian, maka semua organisasi-organisasi pengembangan internasional maupun nasional, menaruh perhatian tidak semata-mata pada pertambahan peroduksi makanan melainkan juga pada kebiasaan-kebiasaan makanan tradisional yang berubah, untuk mencapai keuntungan maksimal dari gizi yang diperoleh dari makan yang tersedia.

  10. Lanjutan • Hal ini merupakan tugas yang luarbiasa sukar untuk dilakukan, karena kebiasaan makanan merupakan yang paling menentang perubahan diantara semua kebiasaan. Apa yang kita sukai dan tidak kita sukai, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan, dan keyakinan-keyakinan kita dalam hal makanan yang berhubungan dengan keadaan kesehatan dan pantangan ritual, telah ditanamkan sejak usia muda.Hanya dengan susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak usia muda, untuk memulai dengan makanan yang samasekali berlainan.

  11. Lanjutan • Karena kebiasaan makan, seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, maka program-program pendidikan gizi yang efektif yang mungkin menuju perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.

  12. Lanjutan • Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi. Para ahli antropologi sejak hari pertama dalam penelitian lapangan- nya, telah mengumpulkan keterangan tentang praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang makanan dari penduduk yang mereka observasi.

  13. Antropologi Gizi • Pemikiran di atas melahirkan ANTROPOLOGI GIZI: meliputi disiplin ilmu tentang gizi dan antopologi yang memperhatikan gejala-gejala antropologi yang mengganggu status gizi manusia. Dengan demikian, evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan, dan adaptasinya kepada variabel gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam, menggambarkan bahan-bahan yang merupakan titik perhatian dalam antropologi gizi.

  14. Lanjutan Aspek-aspek penting dalam antropologi gizi: • Sifat sosial, budaya dan psikologis dari makanan (yaitu peranan-peranan sosial- budaya dari makanan, yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya). • Cara-cara di mana dimensi-dimensi sosial-budaya dan psikologis dari makanan berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama dalam masyarakat-masyarakat tradisional.

  15. Makanan Dalam Konteks Budaya • Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-keparcayaan, pantangan-pantangan, dan tahyul-tahyul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan.

  16. Lanjutan • Para ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya. Perhatian khusus diberikan terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial, sanksi-sanksi , kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kebiasaan makan memainkan peranan sosial dasar yangpenting dalam mengatasi soal makan untuk tubuh manusia.

  17. Lanjutan • Makanan dalam konteks budaya dapat dilihat dalam bagaimana: • Kebudayaan dalam menentukan makanan. • Nafsu makan dan lapar. • Klasifikasi makanan dalam masyarakat. • Peranan-peranan simbolik dari makan

  18. 1. Kebudayaan Dalam Menentukan Makanan • Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk manusia, untuk mempertahankan hidup.

  19. Lanjutan • Dalam setiap masyarakat , makanan dibentuk secara budaya. Bagi sesuatu yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya, dan keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan memperguna-kan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan agama, tahyul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan begizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”.

  20. Nutrien (Nutrient) VS Makanan (Food). • Penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, yaitu suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Sedangkan makanan adalah konsep budaya, yaitu suatu zat yang dianggap sesuai (diterima) bagi kebutuhan gizi kita”.

  21. Lanjutan • Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan bukan makanan sehingga sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik

  22. Lanjutan • Kita mengenal variasi makanan yang sangat banyak untuk disantap akibat multi etnik dan sistem produksi makanan yang berlimpah ruah. Namun ada banyak makanan bergizi yang sangat dihargai oleh warga budaya lain yang kita kenal, tapi tidak kita anggap sebagai makanan. Mungkin sekali, suatu makanan yang dari segi gizi dapat diterima, dapat digolongkan sebagai makanan, tapi kita tidak menganggap itu sebaqgai makanan karena tidak pernah atau dilarang memakannya.

  23. Lanjutan • Pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak seorang pun dari kita yang menkmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui olh kebudayaan kita sebagai makanan

  24. Lanjutan • Pengalaman-pengalaman masa kecil, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada makanan di usia dewasa. Makanan yang kita kena semasa kanak-kanak tetap menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah untuk ditolak.

  25. Lanjutan • Menurut Jelliffe dan Bennett: “Manusia di mana saja, bahkan dalam keadaan yang sukar sekalipun, hanya makan dari sebagian bahan-bahan yang sebenarnya dapat dimakan dan tersedia”

  26. 2. Nafsu Makan Dan Lapar • Nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan, namun berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya adalah konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan merupakan suatu konsep fisiologis.

  27. Lanjutan • Dalam banyak masyarakat, definisi lengkap dari makanan tidak dapat dibuat tanpa merujuk pada konsep makanan dan waktu makan. Misalnya dalam survey gizi di pedesaan sering tidak diperhatikan konsep makan di temjpat yang diteliti. Waktu ditanyakan makanan apa yang sudah dimakan pada hari sebelumnya?Jawaban yang diperolehadalah sederet daftar makanan yang disantap pada setiap waktu makan di tempat tersebut. Akibatnya, banyak macam makanan yang bergizi dan penting termasuk makanan kecil tidak termasuk dalam analisis, sehingga hasil survey gizi mereka menjadi tidak seimbang dengan yang sebenarnya.

  28. Lanjutan • Contoh lain, misalnya orang Jawa mengaku belum makan sekalipun sudah makan roti atau jagung dan makan berat lainnya, karena belum makan nasi sekalipun roti atau jagung tersebut dimakan pada waktu makan siang.

  29. 3. Klasifikasi Makanan Dalam Masyarakat • Dalam setiap masyarakat, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi dan berbeda-beda pada setiap kebudayaan. Pengklasifikasian bisa berdasarkan waktu makan, status dan prestise, menurut jenis pertemuan (sosial, usia, keadaan sakit dan sehat), menurut nilai-nilai simbolik dan ritual, dan lain-lain.

  30. Lanjutan • Pertimbangan status memainkan peranan penting, terutama dalam merubah kebiasaan makan. Hasil penelitian Cussler dan deGive menemukan di kalangan rakyat kecil kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagianh Tenggara, makanan yang berwarna terang lebih berprestise daripada makanan yang berwarna gelap. Pilihan di kalangan luas terhadap beras putih giling, misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik daripada beras coklat yang tidak digiling erat kaitannya dengan ide-ide prestise tersebut.

  31. Lanjutan • Contoh lain, makanan yang dipandang bermutu dan berkelas adalah makanan-makanan yang dibungkus secara modern dan diiklankan secara luas. Makanan seperti itu tampanya mempu- nyai daya tarik yang sangat besar bagi orang-orang di negara sedang berkem- bang, meskipun banyak dari makanan-makanan sejenis ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanantradisional.

  32. Lanjutan • Klasifikasi makanan yang paling tersebar luas dan yang penting kaitannya dengan kesehatan adalah dikhotomi “panas dingin”. Melalui keseimbangan makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara panas dan dingin, maka kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya.

  33. Lanjutan • Contoh, di sebuah desa di India bagian Utara, makanan termasuk panas adalah kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur, ikan, daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena panas yang dihasilkannya. Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah.

  34. 4. Peranan-peranan Simbolik dari Makanan • Selain merupakan hal pokok dalam hidup, makanan penting juga bagi pergaulan sosial. Makanam dapat dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok atau dalam kelompok untuk meramalkan bagaimana kehidupan sosial terjadi. • Ungkapan simbolis tersebut dapat dilihat dalam: • Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial • Makana sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok • Makanan dan stres • Simbolisme makanan dalam bahasa.

  35. a) Makanan Sebagai Ungkapan Ikatan Sosial • Menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman) sering dianggap menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menarima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya. Mengajak makan malam seseorang dapat diartikan ada perhatian khusus pada orang tersebut.

  36. Lanjutan • Tidak memberi makanan atau gagal menawarkan makanan dalam suatu konteks di mana hal itu justru diharap-kan dari segi budaya,adalah menyata- kan kemarahan atau permusuhan. Sama halnya menolak makanan yang ditawarkan adalah menolak tawaran kasih sayang atau persahabatan, atau mengungkapkan permusuhan pada si pemberi.

  37. Lanjutan • Ungkapan simbolik berupa ajakan/undangan/tawaran makan, erat kaitannya dengan peningkatan gizi karena makanan yang ditawarkan akan terseleksi karena menyangkut status yang mengundang/menawar- kan dan yang diundang/ditawari makan.

  38. Makanan Sebagai Ungkapan DariKesetiakawanan Kelompok • Ada beberapa jenis makanan yang berfungsi sebagai makanan untuk mempersatukan kelompok. Kelompok suku bangsa dan kelompok usia di Amerika memiliki makanan yang bagi mereka berfungsi sebagai lambang identitas, soul food (makanan jiwa) untuk orang kulit hitam, makanan dari jagung di daerah Amerika Barat Daya untuk masyarakat Chicano, dan makanan sehat, makanan alamiah serta macrobiotic untuk banyak orang muda.

  39. Lanjutan • Makanan simbolis lainnya termasuk domba di negara-negara Arab, tuak pohon palma dari Afrika Barat, minuman teh dan sake dari Jepang, ikan lokal diacar dengan jeruk (ceviche) dan couscous di Saharan Afrika.

  40. Makanan Dan Stres • Makanan-makanan khusus dapat merupakan pencerminan identitas dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya lainnya. Dengan demikian makanan memberi rasa kententraman dalam keadaan-keadaan yang menyebabkan stres. Kita akan merasa aman di saat kita jauh di tempat tinggal kita, bila kita bisa makan makanan kebiasaan kita yang kita bawa sebagai bekal.

  41. Lanjutan • Nilai keamanan psikologis dari makanan juga dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil di antara waktu-waktu makan, apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami keadaan stres yang berat.

  42. Simbolisme Makanan Dalam Bahasa • Pada tingkatan yang berbeda,bahasa mencerminkan hubungan-hubungan psikologis yang sangat dalam di antara makanan, persepsi kepribadian dan keadaan emosional. Kata-kata sifat dasar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan digunakan juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia: dingin, hangat, manis, asam, pahit, keras, empuk, kering, segar, lunak dsb.

  43. Lanjutan • Kata-kata untuk mendeskripsikan persiapan makanan adalah juga kata-kata yang digunakan untuk melukiskan situasi kejiwaan seperti hangat artinya mulai marah, terbakar artinya marah, mendidih artinya sangat marah, menguap artinya panas hati dsb.

  44. Lanjutan • Dalam bahasa Indonesia ada ungkapan yang berarti “manis, enak dipandang”, “semangat tempe” (= lemah), “orangnya dingin” , “muka manis”, “muka asam”, “sudah makan asam garam” (= banyak pengalaman), dan “si cabe rawit” (= anak yang cerdik).

  45. Pembatasan Budaya Terhadap Kecukupan Gizi • Walaupun gizi buruk di dunia ini banyak disebabkan oleh kekurangan pangan yang mutlak , masalahnya bertambah parah akibat berbagai kepercayaan budaya dan pantangan-pantangan yang sering membatasipemanfatan makanan yang tersedia.

  46. Lanjutan • Maka dalam perencanaan kesehat-an, masalahnya tidak terbatas pada pada pencarian cara-cara untuk menyediakan lebih banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarikan cara-cara untuk memasti-kan bahwa bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif.

  47. Lanjutan • Pembatasan budaya tersebut dapat dilihat dalam: (1) Kegagalan Untuk Melihat Hubungan Antara Makanan Dan Kesehatan. (2) Kegagalan untuk mengenalikebutuhan gizi pada anak-anak.

  48. 1. Kegagalan Untuk Melihat Hubungan Antara Makanan Dan Kesehatan • Dasar kearifan konvensional mengenai makanan ditandai oleh kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu bisa dugunakan sebaik-baiknya. • Yang terpenting dari kesenjangan itu adalah kegagalan yang berulang kali terjadi untuk mengenal hubungan yang pasti antara makanan dan kesehatan.

  49. Lanjutan • Susunan makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas bukan kualitasnya. • mengenai makanan pokok yang cukup, bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai makanan. • Karena itu, gizi buruk bisa terjadi di tempat-tempat di mana sebenarnya makanan cukup.

  50. Lanjutan • Contoh: Persepsi mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan berupa suatu pandangan keliru yang meluas: Makanan yang kaya protein, terutama daging dan susu tidak boleh dimakan oleh anak-anak yang mengidap penyakit cacing karena dianggap “menyebabkan cacing-cacing muncul”

More Related